Awalnya aku mengira bahwa aku baik-baik saja. Namun, setelah kutelusuri belakangan ini ada yang salah bahkan fatal dengan diriku. Nyatanya hormonku pun kacau fungsinya.
Aku terjebak dalam keramaian. Mulanya aku penyuka kesendirian, namun akibat dari cerewetnya kedua orang tuaku, aku menjadi merasa risih dan merasa diriku tak berada ditempatnya.
Sekitar tahun 2012 silam, aku mulai agak menyadari bahwasanya ada yang tidak normal denganku, terutama dengan pola pikirku. Aku merasa bahwa segala suatu hal terkait emosiku tidak bisa aku kuasai. Ya, memang benar emosi adalah suatu bentuk energi, ia hanya bisa dipindahkan saja dan memang tak dapat dihilangkan.
Berawal ketertarikanku pada seorang 'teman' lain jenis, aku mulai tidak waras. Setiap hari aku murung dibuatnya. Bukannya aku hendak mengungkit masa laluku akan orang yang tak berperikemanusiaan itu, akan tetapi jika aku tak menuliskannya disini sungguh rasanya aku belum begitu mantap. Ya, karena dia masuk dalam zona luka batinku. Selama kurang lebih 2 tahun lamanya aku menjalin hubungan dengannya, aku merasa bahwa memang ada hal lain yang seolah mengintimidasiku. Bukan, hal ini bukan hal magis atau semacam mistis dan bau-bau kemenyan lainnya, akan tetapi saat ada dia aku justru merasa agak sedikit sadar bahwa ada yang salah dalam otakku, dalam zona warasku.
Sedikit cerita, aku pernah berpacaran dengan orang itu. Ya, memanglah ini aib. Aku hanya sekedar bercerita saja, tak berniat membukanya. Aku tahu bahwa pacaran itu haram dalam syariat islam, namun karena kurangnya ilmuku kala itu, sehingga aku masuk dalam perangkap tercela bernama zona merah jambu itu.
Wajar bukan, seorang belia berumur 19 tahun yang terlalu prematur melangkah ke sekolah tinggi merasakan jatuh cinta? Aku tak minta dihakimi, akan tetapi aku hanya sedang berbicara pada diriku sendiri karena saat ini aku sudah menyadari betapa perbuatanku adalah dosa. Astaghfirullohal 'azimmm semoga allah mengampuniku.
Namun, bukan itu topik bahasan yang aku tekankan pada pembaca disini, akan tetapi aku hanya bertitik tumpu pada jenis kepribadian yang kualami.
Flashback di 2013, saat itu serangkaian test kulalui demi terbukanya jati diriku. Mulai dari EEG (pemeriksaan gelombang otak), CT scan, dan juga terapi penyembuhan dimana memang ada kelainan di dalam sistem syarafku kala itu. Seorang dokter rupawan bernama Dr. Nazwan menanganiku kala itu. Beliau adalah ahli syaraf, mengatakan padaku bahwa ada ketidaksinambungan antara sistem syarafku sehingga neuronku menjadi sedikit terganggu. Seharusnya sambungan antar neuron di otak manusia normal bisa saling berseberangan dengan wajar dalam perpindahannya, akan tetapi tidak di sistem syarafku. Itulah mengapa ia menyarankanku untuk terapi obat selama kurang lebih 2 tahun lamanya.
Shock sekali memang, aku merasa bahwa aku sangat minder terkait kejanggalan ini, akan tetapi mau bagaimana lagi. Ini adalah bentuk ikhtiarku demi kelancaran dan kesembuhanku. Plis aku juga ingin menjadi manusia normal seperti kalian.
Akhir tahun 2013 aku collapse, dan harus masuk rehabilitasi, ternyata sistem kinerja otakku semakin memburuk, bahkan hingga aku tak sadarkan diri. Sakit memang apabila diingat kejadian ini, akan tetapi saat aku menerimanya, semua sakit itu terasa bersahabat denganku.
Sekitar dua pekan berlalu, aku mulai sadar bahwa aku sedang berada di tempat dimana aku dirawat, setelah sepuluh hari berjuang melawan ketidakwarasanku sendiri, akhirnya sekumpulan orang (perawat, psikiater, psikolog) disana menjelaskan beberapa hal padaku bahwa aku terkena sindrom bipolar bawaan.
Kala itu, akibat efek obat penenang yang sungguh sangat mematikanku, aku masih belum paham apa itu bipolar. Akan tetapi, aku terus menerus untuk berusaha pahami penyakit yang ada dalam diriku, terutama otakku.
Singkat cerita, kini aku sudah mulai menerimanya. Bahwa sebenarnya penyebab bipolarku adalah asuhan yang keliru. Semestinya aku mendapatkan nutrisi yang cukup saat masa pembentukan sel otak, akan tetapi karena terbatasnya ilmu kedua orang tuaku mereka memberiku nutrisi makanan sekadarnya saja. Akibatnya sistem syarafku kurang maksimal. Di lain sisi, pola asuh orang tuaku yang sangat sering sekali berkonflik. Disinilah titik terberat dalam sejarah hidupku, menghadapi konflik demi konflik disaat usiaku masih sangat balita, katakanlah kurang lebih 4 tahun usiaku kala itu. Pertengkaran demi pertengkaran harus aku lewati didepan mataku, bahkan kedua orangtuaku pun nyaris berpisah. Entah karena apa, aku tidak mengerti sampai sekarang ini. Akupun sudah tak ingin lagi mengungkitnya, karena aku memilih untuk memaafkan masa lalu mereka serta memakluminya bahwa kurangnya ilmu mereka mengakibatkan anak sepertiku menderita.
Saat ini, aku masih dalam tahap pemulihan. Sedikit demi sedikit bebanku mulai terkurangi, dan yang paling aku takutkan selama ini adalah benar. Aku seorang introvert. Kupikir selama ini aku berkepribadian ekstrovert, akan tetapi entah mengapa saat aku bertemu dengan banyak orang energiku seolah terkikis habis.
Selama hampir 26 tahun belakangan ini aku terus menerus bertopengkan ekstrovert agar menyenangkan ortuku. Salah, ya itu salah besar. Bahwa orang sepertiku memanglah susah bergaul dan semestinya lebih sering mengurung diri di kamar.
Ayahku dulu terus menerus memaksaku untuk bersosialisasi, namun rasanya aku sangat risih untuk bertemu orang di luar sana. Tapi kembali lagi karena aku sayang mereka hingga akhirnya kuturuti segala yang mereka mau hingga pada akhirnya fatal.
Sekarang, aku tengah melepas semuanya. Aku tak peduli saat orang mengataiku kuper atau jarang berteman. Ya, memang inilah karakterku. Aku pendiam dan 'bisu' tak suka banyak bicara hal tak penting, apalagi berkumpul dengan orang banyak, rasanya kepalaku penuh.
Kebumen, 1 Maret 2020
Ttd.
Kekasih Pertama