Senin, 16 Maret 2020

Hasad yang Melemahkan Hati 💔

Ya Allah aku iri hari ini, aku merasa bahwa aku tidak seberuntung teman-temanku yang bisa berkarir dengan gemilang. Aku iri pada teman-temanku yang telah lulus S2 lalu menjadi dosen di sebuah universitas atau bahkan tetap tinggal di negara yang pernah ia tinggali sebagai tempat studi.

Ya Allah aku sangat iri terhadap itu semua. Malu rasanya, setiap harinya aku harus terus berkutat dengan smartphone ku di dalam kamar sambil menunggu rengekan demi rengekan bayi mungil dan kakaknya. Menunggu mereka berteriak memanggilku, atau bahkan parahnya lagi menunggu mereka buang air kecil atau besar lalu aku mencebokinya sambil sesekali sesak dadaku.

Temanku yang dulu satu kampus, ia sekarang sudah bisa berdikari menjadi wanita mandiri dan modern. Sepatunya bagus, tasnya bermerk, wajahnya halus dan bersih, sementara aku ? Aku hanya tergeletak dengan daster kumal yang bau ompol dan asi.

Ya Allah aku sangat iri, manakala ada temanku yang sudah bisa dapat penghargaan sana-sini. Sudah bisa jadi pembicara sana-sini, bisnis onlinenya berkembang pesat. Lalu aku nampak gusar saat bercermin di depan kaca kamarku. Kulihat wajahku yang terlalu lama bebersih rumah hingga ia nampaknya lupa tuk dibersihkan hari itu.

Aku sangat iri sekali manakala teringat foto-foto lamaku yang sengaja kupajang di depan cermin. Ya itulah bayangan lamaku. Saat aku masih gadis dulu dan belum beranak pinak. Aku pandangi foto itu terus-menerus dengan penuh kekaguman.

Sambil sesekali menggumam dalam hatiku "hey kamu itu cantik loh, lihat kakimu sangat mulus dan ramping, rambut panjangmu sangat indah, bulu matamu lentik alami, dan hidungmu juga mancung sempurna".

Lalu, aku pun tersipu malu dibuatnya, si hati kecilku berkata seolah aku menjadi wanita paling cantik sedunia bak miss universe yang berjalan di atas karpet merah. Lalu aku berjalan menyusuri lorong arah kamar mandi. Kutemukan beberapa tumpukan baju kotor disana.

Ya Allah, apalagi ini. Sekarang pekerjaanku adalah tukang cuci baju suamiku. Apa maksudnya wanita cantik sepertiku ini disuruh mencuci baju tanpa menggunakan mesin, apakah nanti tanganku tidak kaku dan malah kasar. Sungguh terlalu.

Aku kembali menuju kamar tidurku. Aku merebahkan diri disamping bayi mungilku, menatapnya perlahan. Kutarik napas dalam lalu kuhembuskan. Ya, dia adalah wujud nyata cintaku dan suamiku yang ada di dunia. Bukankah suami sangat mencintaiku hingga ia rela menghabiskan waktunya di luar sana demi menghidupiku dan juga bayi kecilku ini? Ya allah, aku sedih. Aku merasa kecewa terhadap diriku. Aku kurang menghargai suamiku selama ini. Maafkan aku, suamiku. Gumamku dalam hati. Bukan maksudku untuk terus menuntutmu dan menyalahkan keadaan atas diriku saat ini, akan tetapi aku hanya iri dengan banyaknya foto wanita bersliweran di beranda facebook ku apalagi instagramku. Dimana banyak orang tengah merasa bahwa mereka adalah pusat perhatianku. Ah, kutepis pikiran kunoku.

Aku mulai membenarkan baju dasterku yang sedikit tersingkap bagian bawahnya, kurapihkan ia lagi. Aku duduk didepan cermin datarku saat ini, sambil sesekali menatap lurus bayangku didepannya. Aku sangat tidak terurus sekali, ya? Aku sambil tertawa, dan menghela nafasku. Ya biarin, memangnya kenapa? Bukankah mengurus bayi butuh waktu dan tenaga yang sangat tidak sedikit, makanya aku belum bisa merawat kecantikan wajahku lagi. Hey, bukankah dengan tersenyum kau nampak lebih cantik ? Ayolah senyum diriku, kau nampak cantik seperti foto itu. Sambil sesekali kupandang fotoku di masa lalu.

Sahabat, alangkah kita sering menentang gejolak emosi yang datang setiap harinya pada diri kita. Hingga kita lupa apa jenis emosi tersebut, dan bahkan tak jarang kita malah terbawa larut seharian di dalamnya.

Sahabat, emosi adalah bagian dari diri kita, dia lah energi yang kita pancarkan setiap harinya. Utamanya saat kita bertemu dengan orang lain, saat kita merasakan sebuah emosi, maka gelombang itulah yang kita pancarkan.

Alangkah baiknya kita bisa menyelami emosi kita lebih dalam sahabat, memahaminya bahwa hal itu adalah wajar, menerimanya bahwa hal itu adalah sebuah proses kehidupan, dan melewatinya dengan ikhlas.

Allah swt selalu menyarankan untuk bertazkiyatun Nafs dengan beristighfar. Meminta maaf serta meminta agar terus dibukakan rahmat supaya kita bisa terus menjalani hidup dengan pikiran yang jernih.

Sahabat, aku tak bisa lama temanimu disini, di dunia ini. Namun, aku akan selalu tulus mengingatkanmu akan kebaikan. Maka dengarkanlah suaraku yang sangat pelan dan lembut, wahai sahabat.

Ttd.
Dari Sahabatmu, 
Hati Nurani 💞

Tidak ada komentar:

Posting Komentar