Bukannya aku hendak menghakimimu, akan tetapi waktu itu sungguh sangat bimbang dan dilematis. Aku tak sanggup lagi berfikir jernih, manakala hatiku saja sudah tertarik denganmu, wahai calon imamku.
Aku tak yakin, dikala kau mengatakan terus terang padaku saat hendak mengajakku untuk bertemu ibumu. Ya, betapa terkejutnya aku. Usiaku belum genap 21 tahun, dan kau sudah berniat untuk mengarah pada sebuah ikatan yang sangat sakral. Aku sungguh tak mengerti harus kujawab dengan apa akan hal ini.
Dilema itu terus berlanjut hingga beberapa bulan lamanya, saat aku tengah mengerjakan skripsi sebagai bahan tugas akhir strata ku. Perlahan tetapi pasti kuyakinkan diri ini untuk mantap bersamamu, meski kau belum tentu kewajibanmu sebagai seorang hamba. Bukan maksudku untuk mengecapmu bahwa kau bukan orang yang taat akan beragama. Aku pun sadari diriku, bahwa aku sangatlah jauh dari sifat muslimah sejati. Jilbabku saja belum kukenakan kala itu, rambut pirang masih saja menjadi model kesukaanku. Tapi entah mengapa, seolah diri yang hina ini pun ingin tuk dibimbing kearah yang lebih baik.
Lambat laun aku mulai berani ungkapkan kecemasanku padamu. Kukatakan dengan spontan bahwa aku akan segera pergi dari hidupmu jika kau terus-menerus tinggalkan 5 waktumu. Kau pun terkejut dan sekaligus menjudge diriku bahwa cintaku bersyarat. Ya, tentu saja bersyarat Sayang. Aku tidak mungkin menjadi pengikut sesat, meski aku belum tau jalan kembali pulang waktu itu. Aku juga ingin agar kau sama-sama berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi, begitupun aku.
Singkat cerita, akhirnyapun kita bersatu. Januari 2017 itulah janji suci kita di depan semua hadirin yang datang. Kau mempersembahkan ikatan cinta yang suci dan tulus di pernikahan agung itu, meski sebenarnya aku masih bimbang. Bisakah aku terus mengikuti imam yang gontai, padahal akupun sangat payah.
Aku sempat berfikir bahwasanya mungkin aku ditakdirkan bersamamu karena kadar keimananku juga sangat minimal. Sehingga kau juga begitu, disandingkan denganku yang sangat liberal. Aku tak paham islam, tak mengerti seluk beluk Tuhan, apalagi Rosulku kala itu.
Namun, hari demi hari kulalui tanpa permisi. Kuperhatikan lambat laun kita bisa sama-sama berbenah disana, di dalam ikatan suci ini. Entahlah, apa memang Tuhan kita telah Ridho atas apa yang kita pilih? Sungguh aku hanya berharap akan hal itu.
Semoga di usia pernikahan kita yang keempat ini, kita bisa semakin menjadi pribadi yang sangat jauh lebih baik dari sebelumnya, duhai imamku. Aku selalu berdoa padaNya agar kelak terus membersamai ikatan cinta kita sampai jannahNya, karena aku sadar aku tak kuasa pabila dimasukkan kedalam neraka.
Maret hari kedua tahun 2020
Dari istrimu, yang mungkin takkan pernah ku sampaikan surat ini.
Ttd.
Kekasih Pertama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar