Rabu, 25 Maret 2020

Kelemahanku

Mataku terbangun saat sang surya menerangi dalam pancaran sinar hangatnya. Hari ini seperti biasa aku masih terus melambungkan asa ku untuk terus tegar meski dalam batinku seolah sangat kosong dan hampa. Entahlah aku tak tahu hampa ini seperti apa, hanya saja aku merasakan ada yang kurang beberapa hari setiap perjalanan hidupku. Logikaku terus terasah dengan terampil dan lincah, namun dalam hati yang paling dalam aku rapuh. Hausnya kasih sayang akan belaian lembut seorang ibu yang tak hadir dalam hatiku membuatku tak punya daya dan upaya. Jangankan untuk bertahan, untuk mengontrolnya saja aku tak bisa. Ya, aku masih terlarut dalam duka atas meninggalnya jiwa ibuku. Seolah aku benar hanya memiliki seorang Ayah saja yang selama ini menopang kehidupanku dan juga adik-adikku. Hari ini aku merasakan gemuruh hati yang sangat dahsyat, flashback pada pertemuanku dengan imamku sekitar 5 tahun lalu. Di sebuah tempat yang kemilau gemerlapnya lampu malam di sebuah kota, aku merasakan bahwa dia sama sepertiku. Dia mengerti akan frekuensi kelemahanku, frekuensi terendah yang aku alami dan selalu aku pancarkan setiap harinya, dimana kasih sayang yang minus merongrong kalbuku. Aku terus ingat-ingat lagi akan hal itu, dia semula tak mengenalku tiba-tiba saja ingin sekali hidup bersamaku. Namun aku berfikir apa yang akan kami lakukan setelah ini, sementara kami juga masih sangat sama-sama rapuh, kami butuh kasih dan sayang satu sama lain. Mungkin dia memang memiliki ibu, akan tetapi ibunya justru merangkap sebagai tulang punggung keluarga, seolah seperti single mother. Aku pun sebenarnya merasa iba padanya, bukankah lelaki juga seharusnya ditakdirkan tegar, akan tetapi dia tak setegar itu, karena mungkin juga ada ruang kosong di hatinya, sama sepertiku. Kami seolah dipertemukan dalam ikatan yang sama-sama kosong, hampa, dan butuh diisi. Sehingga tak jarang energi kami saling menariknya, dan tak jarsng pertengkaran itu selalu datang tanpa diundang. Saat aku menyadari akan hal ini, bahwasanya kami memang memiliki kekosongan jiwa akibat salah satu dari orang tua kami tak hadir, maka tentu saja hal ini harus segera diantisipasi. Aku tak begitu tau bagaimana pengalaman dia saat kecil, hanya dia sering bercerita bahwa Ayahnya sangat kejam dan suka memukulinya saat kecil. Tak lepas, ibunya pun pernah dipukulnya, mungkin itu kejadian paling tragis yang pernah ia alami semasa hidup. Sehingga ia pun tak ingin menjadi laki-laki yang kasar terhadap wanita, justru ia terlalu takut dengan sosok wanita. Ibunya adalah sosok terkuat sepanjang zaman, bayangkan saja ia harus menopang seluruh beban rumah tangga, mulai dari urusan domestik hingga pendapatan keluarga, beruntungnya anaknya laki-laki jadi mereka mampu survive setelah rampung sekolah.

Di ruang yang sangat kosong ini aku terus berbicara pada diriku sendiri dengan tingkat keperihan yang luar biasa dahsyat, bahwa saat aku melihat ada raga ibuku tapi aku tak melihat jiwanya. Aku benci itu, bagaimana mungkin seorang ibu tak tumbuh fitrahnya sama sekali. Apakah dia segoblok itu sehingga obsesinya hanya melulu karir semata? Sungguh sebenarnya aku ingin terus memaki dan berkata kasar padanya meski tak etis, tapi dia memang payah. Aku benci dia, sungguh aku belum bisa memaafkannya. Omong kosong yang selalu ia sodorkan padaku. Dan tak pernah berubah, selalu saja minta dimengerti tapi tak mau mengerti, bajingan memang.

Asal kau tau wahai diriku, sebenarnya bibit keibuanmu tengah tumbuh pesat saat ini akibat usaha keras yang terus kau lakukan dalam masa percobaanmu. Ujian dari Tuhan menguatkanmu, menopang pundakmu yang berat, dan terasa sesat. Aku selama ini mencari dan terus mencari ada apa sebenarnya yang rusak dalam diriku. Ternyata itu letaknya dari dalam hatiku, palung jiwaku penuh luka lebam yang membusuk dan berbau tajam. Disanalah letak duri-duri kesakitan dan kawat yang berantakan akibat ulahku sendiri. Sebenarnya kupikir aku belum akil waktu itu, hanya baligh saja. Otak kognitifku belum bisa kugunakan seperti orang normal, karena ada kosong di dalam jiwa. Jiwaku lapar dan sangat gersang. Tak ada yang menyayangiku. Semua brengsek dan terus menerus menjudge diriku seolah seperti aneh bak alien dari angkasa raya.
Aku marah ? Ya tentu saja aku marah dengan takdirku yang sangat parah. Kenapa Tuhan beri aku perjalanan setragis ini, kenapa tak langsung bunuh saja ibuku. Daripada ia mengotori mata dan jiwaku karena ia lebih nampak seperti sampah daripada sebagai ibu.

Seorang ibu harusnya bisa memberi kasih sayang tapi justru yang ia beri adalah percikan ludah kemarahan setiap hari, dasar brengsek. Biarkan saja aku tak peduli orang lain mau mengecap aku seperti apa, mereka tak tau remuk redam jiwa ini, jadi seenaknya saja berbicara. Aku tak peduli,kalaupun aku memang brengsek ya biarkan saja memangnya kenapa?

#pejuangliterasi
#terapimenulis
#tantanganhessakartika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar