Selasa, 31 Maret 2020

Pejuang Restu 3

Bu, aku ingin sekali membantumu, meringankan beban berat yang seolah sangat membebanimu. Seolah kau sangat berat memikul pendidikan adik-adikku. Bu, sungguhlah aku tak menyangka bahwa kau tak kuasa atau memang sudah tak ingin lagi keluar biaya untuk adik-adikku. Apakah sudah terlalu habis uangmu untuk sekolahkanku, sehingga adikku tak mendapat sedikitpun biaya seperti aku waktu dulu? Duhai ibuku, sungguh adik-adik dan aku sangat menyayangimu. Kami semua sangat ingin membahagiakanmu, membahagiakan kedua orang tua kami selama hidup, karena kami tau kebahagiaan kalian adalah keramat.

Bu, asal kau tau. Saat ini aku tengah sendiri dan sepi meratapi betapa ibuku telah tiada dan kosong jiwanya entah dimana. Ibuku tak ada sejak aku bayi. Tak ada jiwamu yang tumbuh selaras dengan fitrahmu sebagai wanita yang patut dimuliakan. Bukan maksudku menjelekanmu bu, memang kau sudah nampak buruk di mata kami. Lantas apa kau mau membenciku juga? Silakan saja. Aku hanya bicara sebagai anakmu, sebagai darah daging yang selama 26 tahun ini tak kau urusi secara sempurna. Apakah karena obsesimu terlalu ingin nampak sempurna dimata manusia sehingga kau telantarkan kami begitu saja tanpa berperasaan. Dimanakah letak jantung atau hatimu, apakah itu sudah tak ada ? Atau sudah mati rasa? Aku masih menduga bahwa kau punya gejolak batin yang menyiksamu selama ini, bolehkah akh menghapus sesalmu itu? Seandainya diperbolehkan pun kurasa itu terlalu berat untukku yang hanyalah seorang anak. Salahkah jika aku butuh dikasihani dan disayangi oleh ibuku? Aku sangat merindukan itu.


Kebumen, 31 Maret 2020
Syair pilu sang pengembara
Kekasih Pertama

Minggu, 29 Maret 2020

Kita 💖

Sesak kian nyata, setiap pagi aku harus selalu kuatkan diriku untuk membuka mata. Aku sadar bahwasanya sendiri saja disini, tanpa ibuku. Meski sebenarnya dia ada. Setiap pagi, aku berusaha mengambil pena atas takdirku, menorehkan tulisan demi tulisan agar nantinya hidupku bisa berkembang dan tak terkekang dengan hawa nafsu. Apalagi sakitnya kesepian yang terus merongrong sukmaku.

Segalanya telah berlalu, musim semi segera bertemu. Namun, aku harus tetap waspada akan segala. Setiap fase periode, selalu berisi pesan nyata akan hikmahNya. Andai saja tutorial hidup ini nyata adanya, aku pasti bisa sangat mudah untuk ikuti arah langkah bagi trendsetterku. 

Sayangnya, aku belum temukan komponen itu, aku harus berjuang sendiri terlebih dahulu. Manakala petang datang, aku siap selimuti tubuhku sendiri yang penuh luka mendalam, mengelusnya, dan menepuk dadanya. Sabar wahai aku, kamu terlahir tanpa cacat. Justru Tuhan kirimkan kamu disini untuk berjalan diatas kebahagiaan atas versimu. Dia tak mungkin salah menempatkan kamu dalam posisi ini, bisa jadi Dia ingin agar kamu nantinya jadi penyembuh duka lara dan nestapa orang di sekelilingmu. Jadi, Dia uji coba kamu dulu, sampai nantinya kapasitasmu membesar dan daya tampungmu juga tak tertandingi, apalagi terhempas seperti ini lagi. Sabar, wahai aku. Sabarlah dulu, resapi kesunyian yang mencekam dalam kalbumu, sedih dan sakit saat sendiri, seperti luka yang menganga tapi tak ada obatnya. Berusahalah untuk tetap tenang dalam kondisi apapun, jiwamu agar tenang, fikiranmu fokus dan bisa jadi fokus masa depanmu pun tercapai.

Andaikata aku bisa keluar dari zona tubuhmu, pasti aku akan terus memelukmu. Tak mungkin aku biarkan kamu sendiri dalam hidup ini, ingatlah aku selalu bersamamu, meski bisikanku terasa sangat lirih, tapi hasratku tuk sembuhkanmu tak pernah sedikitpun beralih. Aku sangat sayang padamu wahai diriku. Kamu adalah aku, dan aku adalah kamu, kita ibarat sepasang sendal jepit yang bisa saling melengkapi. Tak usah pedulikan lagi lingkungan kotor disekelilingmu, bersihkan saja hatimu. Beranikan dirimu untuk terus maju. Lepaskan rantai-rantai belenggu, aku yakin otakmu mampu.

Berdirilah wahai aku, songsong jemari tanganku, sentuhlah diriku dibagian terdalammu. Aku sangat rindu untuk kau ajak bicara, aku ingin kau tak terus membisu, ajaklah aku untuk terus kau gandeng. Sandarkan dirimu bila kau lelah, aku siap kapanpun kau mau.

Teruslah berbenah wahai aku, sayangi dirimu sebegitu juga aku menyayangimu. Mencintaimu tanpa batas waktu, karena kita tak bisa dipisahkan oleh apapun dan kita adalah satu. Satu jiwa, satu raga dan satu hati hingga ajal bahkan saat ruh dan raga terpisah, kita berpisah, selalu ingat aku sebagai jiwa yang menemanimu saat ada di alam dunia.

Sepanjang hayat, akan kukenang.

Sahabatku, si hati yang bersih bernama Nurani. Aku sangat menyayangi dan mencintaimu wahai diri.

#terapimenulis
#pejuangliterasi
#tantanganhessakartika

Sabtu, 28 Maret 2020

Sepanjang Hidup Bersamamu

Jalan panjang yang telah aku lalui selama ini ternyata memang benar adanya. Aku tak bisa mengelak takdir atau bahkan berlari darinya. Dia Tuhanku telah menggariskan sebuah garis kebenaran atas seluruh hidupku. Saat ini yang aku lakukan hanyalah berusaha menerima dan sadar bahwasanya Dia takkan mungkin menciptakanku tanpa ada peran hidup di masa depan. Terimakasih Allahu Robbi, berkat petunjukmu didalam diri ini, dan Engkau yang telah izinkan aku untuk terus bertahan menjalani takdir yang kau beri. Saat ini, faseku telah berubah, yang awalnya aku terus menerus meratapi dan mengasihani diriku serta menjebak diriku dalam zona rasa yang sangat beku. Tanpa sadar aku terus-menrus melukai diriku, tanpa sadar dan aku terus menikmatinya. Justru saat ini aku tengah tersadar bahwa aku harus ambil alih semua tanggungjawab yang ada, termasuk segala perasaanku. Sudah cukup kurang lebih 25 tahun belakangan aku berpasrah pada orang lain yang memperbolehkanku untuk kelola, termasuk perasaan yang mana sebenarnya zona rasa sendiri adalah sumber potensialku,sumbu utama poros hidupku. Bukan berarti saat aku bergantung pada zona rasa hal ini berarti aku lemah, justru disinikah letak kekuatanu sebenarnya, saat aku berhasil menatih rasaku sendiri serta memeluk bayangku yang telah usai, meski saat ini belum begitu besar dayaku, akan tetapi disinilah aku bisa kuat hadapi kenyataan yang ada. Aku memanglah terlalu berprasaan keterlaluan bahkan sangat berlebihan, iya itu memang aku. Lantas kenapa? tak ada orang yang lebih baik atau lebih buruk di dunia ini didepan KuasaNya, Dia yang menciptakan segala jenis rupa manusia sehingga aku harus terus percaya bahwa Dia memang adil, meski belum Nampak nyata saat ini. Oh diriku, terimakasih, saat aku berupaya terus mendorongmu terlalu keras bahkan kau pernah hamper terlindas kerasnya dunia ini, akan tetapi ragamu selalu kuatkan aku. Saat aku ingin berhenti bernafas, namun hidungmulah yang cegah aku, dia tetap bernafas seperti biasa. Bahkan dia tak pernah benci aku sekalipun garis edarku pernah tak sejalan dengan orbitku. Kini, aku semakin yakin dan terus optimis, berusaha untuk selalu memaknai takdirNya dengan benar, dengan buku petunjuk yang benar-benar nyata, Al-Quranul karim. Terimakasih wahai diriku yang selalu berusaha optimis, aku saying kamu wahai diriku.

Teruntuk jiwa dan ragaku
Kekasih Pertama :)

Jumat, 27 Maret 2020

Berhenti dan Berdiri


Kunci untuk sebuah kesuksesan adalah berawal dari mimpi. Namun tak hanya itu, akupun perlu sekali untuk terus bangkit dari keterpurukan dan ketidakberdayaan. Aku sudah lelah terus menjadi korban dalam hidupku. Aku ingin ambil kendali atas semua yang ada disini. Duniaku miliku, tak ada seorangpun yang aku perbolehkan mengacaukan warna duniaku ini. Aku bertanggungjawab atas semua yang aku pilih di dalam kendaliku. Karena sejatinya berikhtiar itu sangat perlu.

Semalam aku gemetar dan tak bisa terlelap, ada banyak kelebat bayangan hinggap. Mataku tak sanggup lagi tuk bendung semua yang datang, seolah mereka semua berisi kesedihanku yang amat mendalam. Sudah beberapa hari saat aku memulai terapi kesembuhanku dengan pasti, mereka sosok lama wujudku datang menghampiri. Bentuknya berupa warna, anak kecil, remaja, bahkan bentuk dewasaku. Keadaan mereka pun berbeda-beda, ada yang tengah terluka, sakit, berdarah, trauma dan penuh duka. Aku yang bijak saat itu hanya bisa mengelus dada, memeluk mereka satu persatu tanpa bisa bertutur kata. Aku mengasihi diriku yang lama. Mereka sungguh tak terawat dan amat tersiksa. Mereka tangguh, akan tetapi mereka rapuh. Aku yang dulunya selalu menutupi akan perasaan dalam relung jiwaku hari ini justru kembali terbuka dengan hampa. Aku membuka semua rasa yang telah lama, aku ingin mengorek luka dan mengobatinya. Aku ingin sembuh, kalau bisa secepatnya Tuhan beriku kesembuhan. Aku tak mungkin terus begini, meratapi dan tersiksa. Aku sudah cukup lelah tak tahu arah. Akibat banyak ulah dalam gejolak jiwa yang merana, bernanah, bahkan membusuk kaku. Sakit ini memang terlalu dalam kurasa, saat aku berusaha membukanya justru bau busuk yang aku terima dalam dadaku, menangis mengiba menderu bahkan tak habis-habis pikirku. Akankah terus seperti ini, aku sungguh tak tahu. Berjalan diatas batu kerikil yang sangat tajam bertahun-tahun hal ini sungguh menyiksa, penuh duri dan luka. Tapi kurasa semua orang pun begitu, mereka punya sakit dalam versi dan kadar masing-masing.
Begitupun aku, dan aku yakin ini sudah terukur untuk jiwa dan jasmaniku. Atas izin Tuhankulah aku mampu sembuhkan mereka, sendiri tanpa nanti dan tanpa permisi akan kubebat luka mendalam ditanganku sendiri. Ya, hanya aku sendiri.

#terapimenulis
#pejuangliterasi
#tantanganhessakartika

Kamis, 26 Maret 2020

Bukan Siapa-Siapamu

Suatu hari di masa laluku, aku pernah merasakan kehilangan yang amat mendalam akan cinta dan kasih. Seperti yang tengah aku rasakan saat ini bahwa memililihmu tanpa alasan adalah sejatinya cinta bagiku. Aku terus merasa bahwa kaulah selama ini jawaban atas doa-doa yang aku panjatkan kepadaNya. Meski luka batin sebelummu telah menyiksa relung sukmaku. Aku kesakitan sendiri di dalam keadaan yang tak jelas ini. Banyak lika-liku kehidupan saat belum bersamamu yang tak pernah aku jelaskan mengapa dan bagaimana hingga aku jadi berada pada titik antisosial seperti ini. Bukankah aku sejak dulu memang suka menyendiri sebelum ada engkau, sebelum kita bersama. Disinilah tapi aku merasa terkucilkan, serasa dunia berputar sangat lambat dari sebelumnya. Aku benci sangat benci tersakiti. Kalian semua brengsek dan aku benci. Ya, kalian teman yang goblok dan sangat bego sekali, yang terus menerus mengejek cara berpikirku yang jauh berbeda daripada umumnya. Kalian itu kampungan, wahai teman sdku. Kalian itu kudet dan pikirannya ortodoks sulit diajak maju. Sorry banget ya bukannya aku mengejek kalian, tapi itulah kenyataannya. Kalian itu bego dan sangat primitif. Aku benci dengan kalian semua. Apa maksudnya? Ya begitulah saat aku mengutarakan isi otak, dengan mudah kalian bicara seolah seperti tak punya otak. Akankah kalian sadar bahwa sebetulnya yang kurang maju pikirannya adalah tingkat intelektual kalian yang debil atau bahkan idiot. Justru sebaliknya, aku selalu pakai akal sehat dan lugas, aku tak suka basa basi yang bahkan bak nasi basi yang ingin kumuntahkan pada wajah kalian para iblis. Sungguh aku terlalu dan terlampau benci dikucilkan, sendirian, tak ada teman, karena memang tak ada yang paham dengan maksud pikiranku. Aku dikira gila dan sok gaul, padahal memang sebenarnya kenyataannya gaul sekali. Jaih diatas kalian yang hanya anak orang tani. Keluargaku lebih mapan dan lebih kaya, namun aku tak sombong. Kali ini aku sengaja bicara kasar karena brengseknya kalian sudah terlampaui batas. Aku sebenarnya sudah muak hidup di pedesaan karena karakter yang sangat bego dirasa. Justru aku seperti alien. Aku benci seperti ini sungguh aku benci. Akankah kalian akan terus caci maki cara berbicara dan berpakaianku serta gayaku yang memang berbeda? Maaf aku terlalu jauh untuk kalian kejar. Kalian adalah manusia-manusia terbelakang yang sangat goblok dan tolol dan juga kampungan. Aku tidak selevel denganmu wahai jalang. Omonganmu yang tak senonoh sudah melukai batinku, kau hanya bisa olok-olok padahal kau goblok. Ingin kusobek saja mulutmu wahai manusia berinisial I.

sungguh sebetulnya akupun ingin memaafkanmu, akan tetapi sikapmu yg sangat keterlaluan membuatku muntah. Aku tau akibat cintamu yang tak sampai padaku sehingga kau sok kenal dan sok akrab. Aku padahal sangat merasa enek. Mungkin ini memang bagian Tuhan, sehingga aku tak sanggup lagi kendalikan, karena memang akupun tak bisa rubah cuaca sekalipun. Biar, biar saja. Hanya aku yang akan terus berusaha mati rasa dan terus berusaha membasuh luka terutama dengan keburukan yang terus kau lempar padaku, semoga mulutmu segera dibungkam olehNya, agar kau bicara yang baik-baik saja. Maaf sekarang aku hapus kamu dari friendlistku. Bye

#terapimenulis
#pejuangliterasi
#tantanganhessakartika

Rabu, 25 Maret 2020

Kelemahanku

Mataku terbangun saat sang surya menerangi dalam pancaran sinar hangatnya. Hari ini seperti biasa aku masih terus melambungkan asa ku untuk terus tegar meski dalam batinku seolah sangat kosong dan hampa. Entahlah aku tak tahu hampa ini seperti apa, hanya saja aku merasakan ada yang kurang beberapa hari setiap perjalanan hidupku. Logikaku terus terasah dengan terampil dan lincah, namun dalam hati yang paling dalam aku rapuh. Hausnya kasih sayang akan belaian lembut seorang ibu yang tak hadir dalam hatiku membuatku tak punya daya dan upaya. Jangankan untuk bertahan, untuk mengontrolnya saja aku tak bisa. Ya, aku masih terlarut dalam duka atas meninggalnya jiwa ibuku. Seolah aku benar hanya memiliki seorang Ayah saja yang selama ini menopang kehidupanku dan juga adik-adikku. Hari ini aku merasakan gemuruh hati yang sangat dahsyat, flashback pada pertemuanku dengan imamku sekitar 5 tahun lalu. Di sebuah tempat yang kemilau gemerlapnya lampu malam di sebuah kota, aku merasakan bahwa dia sama sepertiku. Dia mengerti akan frekuensi kelemahanku, frekuensi terendah yang aku alami dan selalu aku pancarkan setiap harinya, dimana kasih sayang yang minus merongrong kalbuku. Aku terus ingat-ingat lagi akan hal itu, dia semula tak mengenalku tiba-tiba saja ingin sekali hidup bersamaku. Namun aku berfikir apa yang akan kami lakukan setelah ini, sementara kami juga masih sangat sama-sama rapuh, kami butuh kasih dan sayang satu sama lain. Mungkin dia memang memiliki ibu, akan tetapi ibunya justru merangkap sebagai tulang punggung keluarga, seolah seperti single mother. Aku pun sebenarnya merasa iba padanya, bukankah lelaki juga seharusnya ditakdirkan tegar, akan tetapi dia tak setegar itu, karena mungkin juga ada ruang kosong di hatinya, sama sepertiku. Kami seolah dipertemukan dalam ikatan yang sama-sama kosong, hampa, dan butuh diisi. Sehingga tak jarang energi kami saling menariknya, dan tak jarsng pertengkaran itu selalu datang tanpa diundang. Saat aku menyadari akan hal ini, bahwasanya kami memang memiliki kekosongan jiwa akibat salah satu dari orang tua kami tak hadir, maka tentu saja hal ini harus segera diantisipasi. Aku tak begitu tau bagaimana pengalaman dia saat kecil, hanya dia sering bercerita bahwa Ayahnya sangat kejam dan suka memukulinya saat kecil. Tak lepas, ibunya pun pernah dipukulnya, mungkin itu kejadian paling tragis yang pernah ia alami semasa hidup. Sehingga ia pun tak ingin menjadi laki-laki yang kasar terhadap wanita, justru ia terlalu takut dengan sosok wanita. Ibunya adalah sosok terkuat sepanjang zaman, bayangkan saja ia harus menopang seluruh beban rumah tangga, mulai dari urusan domestik hingga pendapatan keluarga, beruntungnya anaknya laki-laki jadi mereka mampu survive setelah rampung sekolah.

Di ruang yang sangat kosong ini aku terus berbicara pada diriku sendiri dengan tingkat keperihan yang luar biasa dahsyat, bahwa saat aku melihat ada raga ibuku tapi aku tak melihat jiwanya. Aku benci itu, bagaimana mungkin seorang ibu tak tumbuh fitrahnya sama sekali. Apakah dia segoblok itu sehingga obsesinya hanya melulu karir semata? Sungguh sebenarnya aku ingin terus memaki dan berkata kasar padanya meski tak etis, tapi dia memang payah. Aku benci dia, sungguh aku belum bisa memaafkannya. Omong kosong yang selalu ia sodorkan padaku. Dan tak pernah berubah, selalu saja minta dimengerti tapi tak mau mengerti, bajingan memang.

Asal kau tau wahai diriku, sebenarnya bibit keibuanmu tengah tumbuh pesat saat ini akibat usaha keras yang terus kau lakukan dalam masa percobaanmu. Ujian dari Tuhan menguatkanmu, menopang pundakmu yang berat, dan terasa sesat. Aku selama ini mencari dan terus mencari ada apa sebenarnya yang rusak dalam diriku. Ternyata itu letaknya dari dalam hatiku, palung jiwaku penuh luka lebam yang membusuk dan berbau tajam. Disanalah letak duri-duri kesakitan dan kawat yang berantakan akibat ulahku sendiri. Sebenarnya kupikir aku belum akil waktu itu, hanya baligh saja. Otak kognitifku belum bisa kugunakan seperti orang normal, karena ada kosong di dalam jiwa. Jiwaku lapar dan sangat gersang. Tak ada yang menyayangiku. Semua brengsek dan terus menerus menjudge diriku seolah seperti aneh bak alien dari angkasa raya.
Aku marah ? Ya tentu saja aku marah dengan takdirku yang sangat parah. Kenapa Tuhan beri aku perjalanan setragis ini, kenapa tak langsung bunuh saja ibuku. Daripada ia mengotori mata dan jiwaku karena ia lebih nampak seperti sampah daripada sebagai ibu.

Seorang ibu harusnya bisa memberi kasih sayang tapi justru yang ia beri adalah percikan ludah kemarahan setiap hari, dasar brengsek. Biarkan saja aku tak peduli orang lain mau mengecap aku seperti apa, mereka tak tau remuk redam jiwa ini, jadi seenaknya saja berbicara. Aku tak peduli,kalaupun aku memang brengsek ya biarkan saja memangnya kenapa?

#pejuangliterasi
#terapimenulis
#tantanganhessakartika

Selasa, 24 Maret 2020

Seperti Rindu yang Berkerak 💔

Aku ingin marah, aku kesal, aku sesak sekali rasanya dadaku hari ini. aku benci jadi orang lain di ujung senja yang memerah ini, aku benci dihakimi aku sudah terlalu lelah dan tak kuasa lagi menjadi dia atau kamu atau dia atau siapapun itu, aku muak sekali rasanya. aku lelah berpura-pura untuk terus menerus menjadi orang lain yang ukurannya belum tentu bisa pas diterima untukku, aku lelah. aku muak sekali saat aku terus dihakimi dan dihancurkan dengan berbagai karakter yang seolah dia lebih baik dariku saat ini. dimanakah letak hati nurani orangtuaku, mereka yang katanya paham akan anak-anaknya akan tetapi rasanya tetap saja aku dihakimi terlebih saat aku memilih segala sesuatu tentang jalan hidup yang tak sesuai dengan mereka inginkan. sebenarnya mungkin bias saja aku menuruti mereka apabila mereka un menuruti apa yang ku mau, tidak hanya terus menuntutku dan juga mengarahkanku semau mereka akan tetapi harusnya aku butuh didorong dengan kelembutan dan kasih sayang seorang ibu yang tak pernah aku dapatkan dimanapun itu tempatnya. Aku hanya butuh dorongan kasih saying dari seorang ibu, pelukan hangat disaat aku rindu. aku tidak tahu harus kepada siapa aku mengadu saat dunia seolah menghakimiku, aku sakit dan tak terarah. namun ibuu tak ada, aku seolah terlahir piatu sejak dini, meski raganya ada namun jiwanya tak ada disisiku. tak ada sosok ibu selama 26 tahun belakangan ini. namun yang aku syukuri saat ini ternyata aku telah sanggup ditakdirkan untuk menjadi ibu, aku memilih untuk sanggup karena akupun tak mau anakku nantinya menjadi sepertiku, memiliki ruang hampa dan sangat kosong di dalam jiwa. ibarat aku adalah kacang yang tak ada isinya, setiap hari aku terus berfikir dan terus mengadu pada diriku sendiri, aku bertanya dalm batinku yang terus bergejolak, apa yang sebenarnya aku butuhkan,, ternyata hanya kasih sayang, dari ibuku. Mulanya aku kesal dan ingin terus mengecam pada takdir yang telah terjadi padauk saat ini, namun berkat kekuasaanNya lah aku mampu bangkit dari keterpurukan yang terus menggerus badan mungilk, bahkan hingga system syarafku yang terus menegang karena kurangnya supan nutrisi bernama kasih sayang.

Sekarang aku telah berusia cukup dewasa daripada sebelumya, meski batinku terus meronta dan tersiksa, aku percaya in hanyalah masalah waktu, dan juga strategi yang harus aku lakukan untuk menaklukkan sindrom kelelahan batin atas kurangnya sentuhan dalam diriku. setiap hari yang aku lakukan adalah memeluk diriku sendiri kedalam, ke batinku, dan tanpa permisi aku melakukannya. Tanpa terkecuali dan tanpa terkurangi, aku ingin terus menerus memeluk diriku entah saat apapun, saat rapuh sekalipun aku harus mengajak diriku sendiri untuk bangkit dari keterpurukan ini.

Semoga Allah selalu merahmati kerinduanku yang sangat dalam ini akan sosok ibu yang tak hadir dalam diriku, dan semoga dengan rahmatNya juga aku bias diberikan energi seluas samudera sebagai sosok ibu yang selalu bias mengasihi dan menyayangi anak-anak dan suamiku sampai maut menjemputku dan bahkan sampai di kehidupan setelah ini. Aamiin :)

#terapimenulis
#pejuangliterasi
#tantanganhessakartika

Senin, 23 Maret 2020

💕💕💕 self love saying

Di pagi yang cerah ini, aku masih saja berkutik dengan sebuah berita viral di negeri belahan dunia, aku yang tengah berada dalam jarak bersama belahan jiwaku sungguh sangat tersiksa sekali rasanya. Hatiku terasa sedih dan gelisah. Aku yang tidak bisa menemaninya untuk terus bersama dan menjaga setiap apa yang ia makan dan ia lakukan sungguh hati ini rasanya terluka. Kenapa ya, akhir-akhir ini aku merasa berat terasa. Aku cemas, aku gelisah, aku gundah dan galau berkepanjangan. Apakah karena ini masih di dunia hingga selalu saja ada rasa tak nyaman di dada? Kemarin sore aku merasa sangat sedih, aku ingin menangis saat seharian full suamiku tak kabari aku. Kangenkah dia padaku? Atau tak peduli lagi dengan badan melarku yang tengah mengandung anak kedua kami. Tapi tega benar jika kemungkinan kedua yang terjadi. Hmmm....aku tak mungkin terus menerus turuti egoku untuk selalu didampinginya setiap saat, walau bagaimanapun aku harus kuat. Menopang segalanya sendiri, iya hanya sendiri saja, ditemani bocah kecil nan rupawan, anak sulungku. Apalagi dengan bertambahnya beban yang ada dipundakku, sebagai anak pertama yang harus selalu siaga kapanpun dan dimanapun aku berada. Ya, aku sebenarnya tengah keberatan dan kelimpungan merasa sesal di dada, ah seandainya aku terlahir dari keluarga biasa-biasa saja, maksudnya dengan status sosial yang tak cukup terpandang. Mungkin aku akan merasa lebih tenang, ya mungkin saja. Namun seolah aku menyalahi takdir apabila terus menyingkir dari kenyataan, meski ibarat pil pahit yang harus selalu kutelan. Dimana anak pertama harus selalu sempurna, bagaimanapun keadaannya. Akan tetapi, aku yakin bahwa kapasitasku akan meningkat tajam setelah ini, track recordku akan semakin bagus, dan nantinya hatiku akan merasa lega dibuatnya. Wahai diri, kuatkanlah pundakmu sekarang ini, sampaikanlah pada relung hati bahwa kau memang layak dan pantas memperjuangkan cinta sejati, walau bagaimanapun keadaanya. Kau harus tetap tegar. Sekalipun rasanya duka teramat dalam dan mengiris kalbu, disaat yang lain seolah sudah banyak pencapaian, akan tetapi aku justru mundur teratur. Ah kata siapa? Apakah itu benar, atau hanya terjebak fikiranmu semata? Ya. Sepertinya kali ini aku terjebak dan terjerembab lagi, akibat kurangnya energi belas kasih didalam sanubari. Aku kurang memerhatikan diriku sendiri, aku lupa bahwa aku juga butuh untuk terus dikuatkan. Tapi siapa yang akan kuatkanku? Tak ada hal lain selain diriku sendiri. Duhai diri, selamatkanlah saja jiwamu saat ini, ditengah krisis efek corona yang mendera, ditengah gejolak batin yang tersiksa. Sungguh kau hanya butuh sandaran saat kau rapuh. Selama ini semua hal telah terjadi, selama ini kau telah dapatkan semuanya. Harta, tahta, rupa, kepuasan materi kau selalu dapatkan itu, barangkali kau hanya butuh belaian kasih sayang yang samasekali tak pernah kau dapati dari siapapun kecuali dirimu sendiri. Sudah saatnya bangkit wahai diriku, penopang hidupku, jangan mau terlarut dalam kebiruan yang mendalam. Aku khawatir sakit batinmu akan bertambah. Bersabarlah, seandainya Tuhan berwujud pastilah kau akan sangat merasakan bahagia karena bisa dipeluknya. Bukankah selama ini, Dia yang memelukmu terus dan terus? Sebegitu eratnya Dia menjagamu dari segala marabahaya yang mungkin menimpamu? Sadarlah, kau tak sendiri. Ijinkan dia sang Pencipta terus untuk memelukmu dan menyayangimu dengan erat hingga detak nafasmu sulit tuk dipisah dengannya. Karena cinta sejati adalah Dia sang penguasa, Ia sang pemilik cinta itu. Kejarlah ke dalam dirimu wahai aku. Semangat selalu yaa membersamaiku. Kucinta kamu diriku 💕

With love, 

Kekasih Pertamamu.

#tantanganHessaKartika
#terapimenulis
#Pejuangliterasi

Selasa, 17 Maret 2020

Joy Of Less #2

Joy Of Less #2

Pagi ini tiba-tiba ada tamu tak diundang datang kerumah. Dengan sangat histeris aku terkejut dan berlari melompatinya. Aku tak sadar jikalau dibawah kakiku ada dia. Sambil gemetaran dan belum bisa kuceritakan pada siapapun seusai teriak tadi, aku mematung di halaman belakang sambil sesekali bergidik.

Suamiku yang terkejut karena aku melompat dalam keadaan perut membuncit yang tidak dalam keadaan biasa, ia lalu menanyakan apa yang tengah terjadi dengan seorang wanita hamil tua, yaitu istrinya.

Aku yang belum bisa atur nafas hanya diam ketika ia tanya apa yang terjadi. Dan sontak aku berteriak "ada ular!". Aku masih shock setelah berhasil melompati ular sepanjang satu meter yang nyaris tak sengaja kuinjak tadi.

Akhirnya dengan sigap suami pun mengambil alat sekenanya untuk mengusir si ular tadi. Singkat cerita akupun bisa menenangkan diri sambil menggoreng ikan hasil tangkapannya kemarin sore. Walau masih ada kegalauan di dalam dadaku dan masih jelas terlintas bayangan si ular tadi dibawah kakiku.

Hari ini aku memutuskan untuk menyisihkan sebagian benda-benda yang sudah tak berguna lagi seperti kemarin. Alasannya karena sepertinya memang si ular itu dikirim oleh Allah untuk mengingatkanku akan kebersihan dan kerapihan rumahku. Dimana banyak sekali barang dan benda berserakan di dalamnya. Memang sih, kejadian ular masuk rumah sudah beberapa kali kualami, akan tetapi pagi ini adalah kejadian terekstrim yang pernah aku jalani. Karena dalam keadaan perut membesar dan menggendong si janin di dalamnya, secara refleks aku melompat-lompat dari lantai sampai ke halaman belakang, yang mana jarak dan ketinggiannya pun seolah tidak masuk akal jika aku dalam keadaan sadar sengaja melompati itu.

Sengaja setelah itu kuputuskan untuk membuang beberapa benda yang sekiranya berpotensi sebagai tempat persembunyian beberapa binatang dirumah. Kecoa dan tikus terutama, dua jenis hewan ini yang seringkali sliwar sliwer didepan mataku.

Bersyukurnya hari ini aku bisa menyisihkan separuh tenagaku untuk membereskan rumah yang berantakan, mengepel setiap sudut walaupun belum begitu sempurna. Akan tetapi, aku sangat senang rasanya bisa memberikan sedikit wewangian pada lantai dapur rumahku. Dimana disitulah si ular nampak lihai bermain-main tadi pagi di kakiku.

Seringkali aku lupa untuk sekedar membersihkan rumah bahkan lingkungan sekitar. Bukannya lupa, namun seringkali lebih pada malas sepertinya. Harusnya sih bisa segera dilakukan dalam rangka mengurangi kekotoran sampah yang berserakan. Bukannya aku jorok, akan tetapi rasanya tenagaku tak cukup jika harus selalu membereskan seluruh isi rumah hanya dengan kedua tanganku saja.


Terimakasih tamuku tadi pagi, berkat kamu yang dikirim Tuhanku, aku jadi bisa ber joy of less part 2 😆. Duh, senangnyaa😍

Btw pict yang aku pasang ini salah satu sudut yang baru aja aku beresin, yaitu mushola mini hehe, kenapa kok malah disitu ya, padahal ularnya kan ada di dapur barusan? Ya karena enjoy aja. Kan joy of less ga butuh mikir, feeling aja pengenku bebersih satu sudut itu 😋😂

Aulia Prattiwi

Senin, 16 Maret 2020

Hasad yang Melemahkan Hati 💔

Ya Allah aku iri hari ini, aku merasa bahwa aku tidak seberuntung teman-temanku yang bisa berkarir dengan gemilang. Aku iri pada teman-temanku yang telah lulus S2 lalu menjadi dosen di sebuah universitas atau bahkan tetap tinggal di negara yang pernah ia tinggali sebagai tempat studi.

Ya Allah aku sangat iri terhadap itu semua. Malu rasanya, setiap harinya aku harus terus berkutat dengan smartphone ku di dalam kamar sambil menunggu rengekan demi rengekan bayi mungil dan kakaknya. Menunggu mereka berteriak memanggilku, atau bahkan parahnya lagi menunggu mereka buang air kecil atau besar lalu aku mencebokinya sambil sesekali sesak dadaku.

Temanku yang dulu satu kampus, ia sekarang sudah bisa berdikari menjadi wanita mandiri dan modern. Sepatunya bagus, tasnya bermerk, wajahnya halus dan bersih, sementara aku ? Aku hanya tergeletak dengan daster kumal yang bau ompol dan asi.

Ya Allah aku sangat iri, manakala ada temanku yang sudah bisa dapat penghargaan sana-sini. Sudah bisa jadi pembicara sana-sini, bisnis onlinenya berkembang pesat. Lalu aku nampak gusar saat bercermin di depan kaca kamarku. Kulihat wajahku yang terlalu lama bebersih rumah hingga ia nampaknya lupa tuk dibersihkan hari itu.

Aku sangat iri sekali manakala teringat foto-foto lamaku yang sengaja kupajang di depan cermin. Ya itulah bayangan lamaku. Saat aku masih gadis dulu dan belum beranak pinak. Aku pandangi foto itu terus-menerus dengan penuh kekaguman.

Sambil sesekali menggumam dalam hatiku "hey kamu itu cantik loh, lihat kakimu sangat mulus dan ramping, rambut panjangmu sangat indah, bulu matamu lentik alami, dan hidungmu juga mancung sempurna".

Lalu, aku pun tersipu malu dibuatnya, si hati kecilku berkata seolah aku menjadi wanita paling cantik sedunia bak miss universe yang berjalan di atas karpet merah. Lalu aku berjalan menyusuri lorong arah kamar mandi. Kutemukan beberapa tumpukan baju kotor disana.

Ya Allah, apalagi ini. Sekarang pekerjaanku adalah tukang cuci baju suamiku. Apa maksudnya wanita cantik sepertiku ini disuruh mencuci baju tanpa menggunakan mesin, apakah nanti tanganku tidak kaku dan malah kasar. Sungguh terlalu.

Aku kembali menuju kamar tidurku. Aku merebahkan diri disamping bayi mungilku, menatapnya perlahan. Kutarik napas dalam lalu kuhembuskan. Ya, dia adalah wujud nyata cintaku dan suamiku yang ada di dunia. Bukankah suami sangat mencintaiku hingga ia rela menghabiskan waktunya di luar sana demi menghidupiku dan juga bayi kecilku ini? Ya allah, aku sedih. Aku merasa kecewa terhadap diriku. Aku kurang menghargai suamiku selama ini. Maafkan aku, suamiku. Gumamku dalam hati. Bukan maksudku untuk terus menuntutmu dan menyalahkan keadaan atas diriku saat ini, akan tetapi aku hanya iri dengan banyaknya foto wanita bersliweran di beranda facebook ku apalagi instagramku. Dimana banyak orang tengah merasa bahwa mereka adalah pusat perhatianku. Ah, kutepis pikiran kunoku.

Aku mulai membenarkan baju dasterku yang sedikit tersingkap bagian bawahnya, kurapihkan ia lagi. Aku duduk didepan cermin datarku saat ini, sambil sesekali menatap lurus bayangku didepannya. Aku sangat tidak terurus sekali, ya? Aku sambil tertawa, dan menghela nafasku. Ya biarin, memangnya kenapa? Bukankah mengurus bayi butuh waktu dan tenaga yang sangat tidak sedikit, makanya aku belum bisa merawat kecantikan wajahku lagi. Hey, bukankah dengan tersenyum kau nampak lebih cantik ? Ayolah senyum diriku, kau nampak cantik seperti foto itu. Sambil sesekali kupandang fotoku di masa lalu.

Sahabat, alangkah kita sering menentang gejolak emosi yang datang setiap harinya pada diri kita. Hingga kita lupa apa jenis emosi tersebut, dan bahkan tak jarang kita malah terbawa larut seharian di dalamnya.

Sahabat, emosi adalah bagian dari diri kita, dia lah energi yang kita pancarkan setiap harinya. Utamanya saat kita bertemu dengan orang lain, saat kita merasakan sebuah emosi, maka gelombang itulah yang kita pancarkan.

Alangkah baiknya kita bisa menyelami emosi kita lebih dalam sahabat, memahaminya bahwa hal itu adalah wajar, menerimanya bahwa hal itu adalah sebuah proses kehidupan, dan melewatinya dengan ikhlas.

Allah swt selalu menyarankan untuk bertazkiyatun Nafs dengan beristighfar. Meminta maaf serta meminta agar terus dibukakan rahmat supaya kita bisa terus menjalani hidup dengan pikiran yang jernih.

Sahabat, aku tak bisa lama temanimu disini, di dunia ini. Namun, aku akan selalu tulus mengingatkanmu akan kebaikan. Maka dengarkanlah suaraku yang sangat pelan dan lembut, wahai sahabat.

Ttd.
Dari Sahabatmu, 
Hati Nurani 💞

Minggu, 15 Maret 2020

Joy Of Less #1

Alhamdulillah ❤❤❤

Semalam sudah berhasil beberes barang pribadi yang perlu dan ga perlu, udah mulai bisa kuatin diri untuk sortir barang-barang yang sekiranya ga berguna untuk diri.

Hihi, walaupun baru satu sudut kamar alias meja rias doang, tapi ini adalah sebuah kemajuanku untuk mulai ber 'joy of less'. Mengurangi perbendaan dan alat yang sekiranya tidak terpakai lagi. Anyway termasuk barang yang mengandung unsur kenangan juga aku sisihin kok 🤭

Kesan pertama ber 'joy of less' alias mengurangi barang yang tidak terpakai adalah lega. Yap, karena jiwa kita bisa melepaskan semua beban. Ceilahhh😂

Kok bisa ? Iya kan selama ini aku terutamanya selalu nimbun pernak-pernik yang ga aku gunakan, cuma liat di toko accesories 'ih lucu' terus aku beli deh 😂🤣. Padahal sebenernya tiap barang yang kita miliki akan dipertanggungjawabkan di hari penghisaban kelak 😣. Yaalloh, mana baju di lemari masih segudang, belom sempet beberes sudut dapur, atau bahkan mainan anak 😮

Tapi ga apa-apa, semua ini butuh proses kok. Udah mau sadar untuk menguranginya aja, hal itu udah kemajuan yang sangat luar biasa, apalagi bisa terus dilakukan. Hehe semoga bisa konsisten kedepannya untuk membeli barang yang dibutuhkan aja. Aamiin

Oia, si joy of less ini sama konsepnya seperti konmari ala Marie Kondo yang terkenal banget dari negeri Sakura loh, gais hehehe. Cuma, kalau joy of less lebih islami pendekatannya, dan emang diperuntukkan untuk kaum muslimah yang konsepnya emang agamis banget. Cocok yah hihi 😁

Gausah salfok sama mainan anak yang nangkring yah, biasa lah punya balita. Semenit dirapihin, semenit kemudian berantakan lagi 😂🤣🤣. But it's okey, karena barang-barangku yang ga kepake dan ga diperlukan lagi udah bisa aku sisihin, hehe.

Sekedar sharing, semoga bermanfaat 😀😊

#joyofless
#cintakesederhanaan
#sedikittapibermanfaat

Rabu, 11 Maret 2020

Teruntuk Sahabatku 💐

Seperti belantara yang sangat luas, dunia ini sangatlah buas. Setiap apa yang dunia sajikan kita wajib untuk selalu waspasa terhadapnya. Dunia itu menipu, masih ingatkah bahwa Ayahanda kita tercinta Adam a.s diturunkan ke bumi dan juga para iblis mengikutinya di sana ? Mereka hidup di dalam satu generasi dan satu alam dimensi bernama dunia, meski sebenarnya dimensi keberadaan mereka berbeda. Sungguh, dunia ini banyak diliputi duka nestapa dan segala yang tentu menyengsara.

Sahabat, aku tidak bisa untuk katakan lagi tentang sebuah perjalanan yang sekiranya aku sendiri pun tak sanggup lakukan seorang diri. Kita butuh partner untuk saling melengkapi, kita tak bisa egois hanya pedulikan diri terhadap nyala kobaran api. Kita ini satu dalam iman, dalam sebuah ikatan persaudaraan yang sangat lurus.

Sahabat, seandainya tidak ada engkau disini. Lalu, bagaimanakah keadaanku seterusnya, kau adalah sumber energi terbesar di titik tervital dalam tubuhku. Kaulah yang selama ini jadi tumpuanku selama puluhan tahun hidupku.

Duhai sahabatku, aku sangat menyesal jikalau terkadang aku lupa memercikkan sedikit atau bahkan banyak noda di badanmu. Kau mulanya bersih dan itu adalah fitrahmu. Sudah kewajibanku bahwasanya aku harus selalu menjaga serta merawatmu sejak dulu. Namun, aku baru sadari hal itu sekarang. Bukankah ini tidak terlalu terlambat, Sahabat?

Maafku tulus padamu, kali ini aku bahkan hendak menjerit kala melihatmu hitam legam akibat ulah kekotoranku sendiri. Seandainya saja sejak dulu sudah kurawat dikau, pastilah tak seburuk dan sebusuk ini, duhai Sahabatku teman hidupku.

Kurasa jika aku hanya terus-menerus meratapimu rasanya sama dengan hembusan angin belaka, tanpa aku bertindak apapun. 

Baiklah, Sahabat...
Sekali lagi aku minta ridhomu sebagai bagian dari urat nadiku bahwa aku akan selalu menjaga kebersihanmu, merawat fitrah sucimu yang telah Allah beri seluruhnya untuk kita. Sekali lagi, Sahabat. Izinkan aku terus menembusmu, berbicara padamu tak penting itu benar atau salah, izinkan agar egosentris dewasaku mengambil alihnya. Agar kau senantiasa terseimbangkan.

Teruntuk Sahabatku, Sang Qolbu.

Ttd.
Aulia Prattiwi
Kekasih Pertama

Senin, 09 Maret 2020

Pejuang Restu 2

Seperti biasanya, setiap akhir malam atau tengah malam aku selalu tak bisa tidur. Memang hal ini tidak terlalu sering, namun bisa dibilang seringkalinya aku pasti terjaga di antara dua zona waktu tersebut. Sudah bukan hal aneh lagi, karena aku tengah mengalaminya bertahun-tahun. Jika kalian ingin tahu apa yang aku rasakan setiap malam begini, maka kali ini akan aku ceritakan dan takkan kusembunyikan lagi, agar kalian paham nantinya bahwa kepribadianku memanglah unik.

Setiap malam, aku memang tertidur lebih awal. Diantara jam 8 atau bahkan jam 9, akan tetapi mungkin karena kualitas tidurku yang sudah dirasa cukup menghilangkan efek kelelahan sehari itu, sehingga di pertengahan malam atau bahkan di penghujung malam aku seringkali terbangun. Aku bukan hendak bertahajud atau bertawajuk dengan Tuhanku, Pak Bu. Akan tetapi seringkali justru emosi atau bahkan imajinasi liar muncul dari sana. Hingga inspirasi yang sangat deras muncul bahkan membanjiri otakku. Aku sampai bingung harus teru menadahinya dengan cara apa.

Sebelumnya, aku memang sosok yang sangat paranoid akan gelapnya malam, entahlah aku masih tidak mengerti mengapa aku sangat takut kegelapan malam, namun seringkali Tuhan bangunkan aku di ujung atau bahkan tengah malam begini.

Untuk mengendalikan emosiku yang makin tidak stabil karena kecemasan yang sangat berlebihan, maka aku seringkali menuliskannya dimanapun. Aku bahkan tidak menyangka bilamana aku tengah sadar beberapa hari kemudian lalu aku mengecek satu persatu tulisanku, betapa sangat banyak ide-ide bertebaran didalamnya.

Duhai Bapak, Ibu kemampuanku mungkin tidak sama seperti orang-orang yang menurut kalian hebat di luar sana, yang mampu selesaikan nilai akademik dan dapat bekerja dengan gaji yang tinggi serta rumah mewah dan baju seragam yang bagus. Aku ini siapa, Bu Pak. Aku hanya seorang anak yang bercita-cita menjadi ibu pendidik saja. Aku tahu akan potensiku yang hanya bisa berdaya jika berada dalam zona kesendirian di dalam rumah. Aku tidak suka bergaul dengan orang yang sangat banyak, bagiku aku merasa menderita. Aku lebih nyaman dengan kesendirian, sehingga aku bisa menyelami diriku dan menemukan sisi lain diriku dari dalam. Apakah sebegitu hinanya aku di matamu, saat realita yang kau inginkan tak sesuai dengan karakterku ?

Tapi aku tidak akan mundur, duhai orang tuaku. Aku akan tetap lakukan apapun hal yang buatku nyaman, meski aku harus mendapatkan banyak label yang mungkin terdengar tidak menyenangkan. Aku tak peduli itu, karena hanya dengan mengakui akan kelemahanku saja aku sudah sangat bahagia.


Bersambung

Jumat, 06 Maret 2020

Pejuang Restu 1

Malam ini, aku tiba-tiba terpesona pada foto berseragam korpri biru di linimasa twitterku. Entah karena apa, kurasa saat melihatnya aku nampak seperti membesar dari sebelumnya. Apakah aku bangga? Aku sungguh tidak mengerti.

Setelah seminggu berlalu tes pegawai negeri kulalui dengan hasil yang tidak pasti dan terlebih mengecewakan sekali, namun tetap saja batin ini masih iri.

Masih sesekali kuingin berpakaian seperti mereka, karena dengan seragam itulah sepertinya kedua orang tuaku akan bangga. Sepertinya hanya dengan cara itu nantinya orang tuaku akan tersenyum bahagia, walau sejujurnya batinku terasa menderita.

Entahlah, sepertinya malam ini aku tengah galau dan sangat kebingungan. Maafkan daku wahai Bapak Ibu, karena aku belum bisa membahagiakanmu. Bukannya aku tidak mau, akan tetapi aku tidak mengerti bagaimana cara membuat kalian bahagia serta bangga padaku.

*ini mungkin innerchild (sisi kekanak-kanakkanku) yang bicara*

"Bapak, Ibu sebenarnya apasih mau kalian terhadapku? Aku sampai rasanya putus otak memikirkan keinginan kalian yang tak kunjung reda. Apakah hal itu karena kalian belum paham akan kebahagiaan yang nyata bahwa hal itu memang tidak bisa dibeli dengan harta maupun tahta?"

Aku paham akan kekeliruan kalian yang selalu saja membebani tanggung jawab seolah menurut kalian biasa saja, namun bagiku itu sangatlah menyiksa. Bayangkan saja wahai Bapak, saat ini usiaku masih sangat rentan akan gejolak emosi yang belum stabil, namun genjotanmu akan seluruh harapan tertumpu padaku. Katamu kau ingin kubahagiakan, tapi dengan apa? Apakah cukup dengan seragam korpri biru itu, sehingga dalam strata sosial aku nampak tinggi ? Apakah dengan berkendara Pajero Sport lantas aku nampak keren saat kau lihat dari luar sana? Cobalah diam sejenak dan berfikir jernih, Pak Bu.

Aku manusia biasa, aku punya jiwa. Jiwaku hanya bisa tenang jikalau aku bisa terus bersama anak dan suamiku dirumah, aku akan tetap bisa senang jikalau kalian merestuiku untuk tetap berkarya dari dalam kamar. Lihatlah betapa imajinasiku nampak liar dan tak terbendung. Aku seorang yang sangat introvert, Pak Bu.

Aku tak bisa sembarang bertemu dengan orang lain, karena saat dalam keramaian energiku terasa habis tersedot oleh mereka, apalagi ditambah dengan omongan yang menurutku itu tidak penting. Bagiku, aku lebih bahagia jika kalian izinkan aku mengolah imajinasi dan banyaknya peluru di otakku. Kalian harus tahu bahwa selalu ada hujan deras mengguyur kepalaku setiap waktu, hal ini membutku terlalu lelah mengolah kata demi kata menjadi kalimat yang padu. Biarlah orang berkata bahwa aku susah bergaul dan jarang nampak di muka umum. Biarlah mereka terus bicarakan aku sehingga mereka bisa puas dengan segala keburukanku, aku tak pedulikan itu. Justru yang aku butuhkan hanyalah pengertianmu, menyadari bahwa anak sulungmu bukanlah seorang yang bermental kuat seperti orang lain kebanyakan. Aku pun punya kekurangan dan juga kelebihan seperti halnya manusia di alam dunia. Tuhan menciptakanku satu paket lengkap, dan mungkin saat ini kalian belum menyadarinya.

Bersambung


Rabu, 04 Maret 2020

Cinta Tanpa Pamrih 1

Saat aku melihat foto wisudaku tergantung di atas tempat tidurku, saat itu pula aku menitikkan air mata untuk kesekian kalinya. Ya, entah kenapa aku selalu saja menelusuri rekam jejak tentang kisah cinta kita. Goncangan batinku terasa sangatlah menyiksa manakala melihat benda kotak itu. Sepertinya, aku perlu sekotak tisu untuk menyeka air mataku yang tertumpah tanpa lelah. Aku merindukanmu.

Saat aku melihat sebuah bingkai indah bertuliskan "happy graduation, dear" hatiku terasa sesak. Bagai himpitan penyiksaan di dalam dada. Ya Allah, betapa menderita aku saat itu.

Saat aku melihat sebuah lampu kaca bertuliskan "be sweet our june, happy birthday dear" betapa rasanya aku bahagia sekali. Aku masih ingat tahun pertama ulang tahun kita berdua. Aku tak sanggup tuliskan apapun, hanya doa yang selalu kupanjatkan semoga kita selalu bisa merayakan ulang-ulang tahun berpuluh kali lamanya kelak, kala itu.

Kemudian, Allah ijabah itu semua. Meski banyak hal perih harus kulewati dan tak jarang aku menangisi keadaan kita. Aku sadar saat itu, aku tengah hampa. Lalu, Allah kirimkan kamu berada disisiku, meski awalnya dalam keadaan yang salah.

Waktu itu, aku sama sekali tidak mengenal siapa Allah. Hanya pedih yang kurasa, saat aku tau bahwa aku bukanlah seperti manusia pada umumnya. Lalu, tiba-tiba saja Allah beri kamu untuk lengkapi dan yakinkan aku, bahwa aku layak dicintai.

Sepanjang liku perjalananku, tak pernah sedikitpun aku membayangkan ada seorang pria yang mampu hadapi gelombang emosi brutalku. Aku sudah pesimis. Sejujurnya akupun tak yakin bahwa kau akan sanggup hadapiku. Lagi-lagi Allah yakinkan hatimu, saat kujelaskan sebegitu ngeri keadaanku, kau tak sedikitpun goyah.

Kini, impian kita benar-benar nyata, Sayang. Sudah 4 tahun kita jalani janji suci diatas mimbar pernikahan. Sesuai harapan kita bahwa kita akan selalu bersama meski badai datang melanda, dan Allah benar-benar jawab itu.

Tidak hanya sekali atau dua kali aku bergejolak seperti layaknya serigala haus darah. Tak hanya sesekali aku bersumpah serapah, dan tak hanya sekali aku selalu memarahimu. Namun, lagi-lagi Allah kuatkan pundakmu untukku, sabarmu untukku, dan tegarmu untukku.

Sekarang, saat usiaku sudah mulai matang. Sudah saatnya aku sadar, bahwa kaulah keajaiban yang diberikan oleh Allah hanya untukku. Allah swt.pasangkan aku sebagai rusukmu, agar aku sanggup kau lindungi disetiap harimu. Allah swt.tuliskan takdir kita di 50.000 tahun sebelum bumi tercipta supaya aku bisa selalu melengkapimu, meski sangat bengkok sekali sifatku.

Aku tak bisa bayangkan, jika seandainya Allah tak mau mengijabah doaku, mungkin saat ini pun aku masih menjadi orang gila yang berpura-pura bahagia. Menunggu kehadiran sosok rupawan hati yang bisa dengan tulus memberi, tanpa harap kembali.

Surat ini ingin rasanya kutujukan padamu, namun aku tak kuasa jika harus tersipu malu. Makanya, aku takkan sampaikan surat cintaku ini padamu. Entahlah, mungkin biar waktu yang akan sampaikan secara langsung untukmu.

Saat aku berfikir bahwa kau sangat jahat padaku, justru ternyata aku tengah terjebak oleh masa lalu yang terus membayangiku. Maklumilah aku, Sayang. Sedahsyat samudera dilautan, sebegitu pedihnya luka batinku hingga aku merasa bahwa semua orang tengah jahat padaku. Bahkan, logikaku saja tak sanggup tepis semua itu.

Bersambung

Selasa, 03 Maret 2020

Aku Tidak Mengerti 💔

Aku tidak mengerti mengapa beban hidupku terasa berat sekali
Aku tidak mengerti bagaimanalagi aku harus berjuang dikala semua energiku seolah habis berotasi
Aku juga tidak mengerti berapa banyaknya lagi sujud yang harus kulakukan di atas sajadahku
Kini justru yang terjadi aku malah menepi, sendiri, berusaha damaikan hati
Entah bagaimana caranya aku bisa selami segala dimensi
Meski relung-relung hati patah kian mati
Nestapa, duka, lara menyelimuti
Sungguh aku tidaklah pahami

Kepadamu aku curahkan segala hilaf dan dosaku
Aku butuh pengakuan, bahwa aku kekasihmu
Meski seolah aku terlalu nafsu tuk disisimu
Bukan begitu maksudku
Aku hanya seonggok hamba penuh debu
Akupun sadar diri, sementara engkau dzat Maha Suci
Bagaimana aku boleh meminta tuk selalu bersanding denganmu didalam qolbuku
Seandainya detik demi detik selalu ku isi dengan makian dan cacian di dalamnya

Terkadang, aku bimbang
Aku gelisah dan merasa frustasi
Akankah kau selalu bersamaku disetiap tubuh ini bermigrasi
Salah. Ini salah
Seharusnya akankah aku selalu mengingatmu dalam setiap frekuensi

Duhai kekasihku, bicaralah padaku melalui hati ini
Maafkan aku yang sering abai terhadapmu
Aku mahlukmu, yang jua takut akan pedih siksamu

Kebumen, 03 Maret 2020
Ttd.
Kekasih Pertama

Senin, 02 Maret 2020

Aku Mencintaimu Karena Allah Ridho

Dulu, aku begitu mengagumimu sebagai sosok lelaki yang sangat menghargai wanita. Hingga pada suatu hari tanpa sengaja kau berniat untuk mengajakku berkenalan. Mulanya aku khawatir akan statusmu kala itu. Teman-temanku selalu membicarakanmu bahwa jarang sekali kau lakukan ibadah di masjid.

Bukannya aku hendak menghakimimu, akan tetapi waktu itu sungguh sangat bimbang dan dilematis. Aku tak sanggup lagi berfikir jernih, manakala hatiku saja sudah tertarik denganmu, wahai calon imamku.

Aku tak yakin, dikala kau mengatakan terus terang padaku saat hendak mengajakku untuk bertemu ibumu. Ya, betapa terkejutnya aku. Usiaku belum genap 21 tahun, dan kau sudah berniat untuk mengarah pada sebuah ikatan yang sangat sakral. Aku sungguh tak mengerti harus kujawab dengan apa akan hal ini. 

Dilema itu terus berlanjut hingga beberapa bulan lamanya, saat aku tengah mengerjakan skripsi sebagai bahan tugas akhir strata ku. Perlahan tetapi pasti kuyakinkan diri ini untuk mantap bersamamu, meski kau belum tentu kewajibanmu sebagai seorang hamba. Bukan maksudku untuk mengecapmu bahwa kau bukan orang yang taat akan beragama. Aku pun sadari diriku, bahwa aku sangatlah jauh dari sifat muslimah sejati. Jilbabku saja belum kukenakan kala itu, rambut pirang masih saja menjadi model kesukaanku. Tapi entah mengapa, seolah diri yang hina ini pun ingin tuk dibimbing kearah yang lebih baik.

Lambat laun aku mulai berani ungkapkan kecemasanku padamu. Kukatakan dengan spontan bahwa aku akan segera pergi dari hidupmu jika kau terus-menerus tinggalkan 5 waktumu. Kau pun terkejut dan sekaligus menjudge diriku bahwa cintaku bersyarat. Ya, tentu saja bersyarat Sayang. Aku tidak mungkin menjadi pengikut sesat, meski aku belum tau jalan kembali pulang waktu itu. Aku juga ingin agar kau sama-sama berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi, begitupun aku.

Singkat cerita, akhirnyapun kita bersatu. Januari 2017 itulah janji suci kita di depan semua hadirin yang datang. Kau mempersembahkan ikatan cinta yang suci dan tulus di pernikahan agung itu, meski sebenarnya aku masih bimbang. Bisakah aku terus mengikuti imam yang gontai, padahal akupun sangat payah. 

Aku sempat berfikir bahwasanya mungkin aku ditakdirkan bersamamu karena kadar keimananku juga sangat minimal. Sehingga kau juga begitu, disandingkan denganku yang sangat liberal. Aku tak paham islam, tak mengerti seluk beluk Tuhan, apalagi Rosulku kala itu.

Namun, hari demi hari kulalui tanpa permisi. Kuperhatikan lambat laun kita bisa sama-sama berbenah disana, di dalam ikatan suci ini. Entahlah, apa memang Tuhan kita telah Ridho atas apa yang kita pilih? Sungguh aku hanya berharap akan hal itu.

Semoga di usia pernikahan kita yang keempat ini, kita bisa semakin menjadi pribadi yang sangat jauh lebih baik dari sebelumnya, duhai imamku. Aku selalu berdoa padaNya agar kelak terus membersamai ikatan cinta kita sampai jannahNya, karena aku sadar aku tak kuasa pabila dimasukkan kedalam neraka.

Maret hari kedua tahun 2020
Dari istrimu, yang mungkin takkan pernah ku sampaikan surat ini.

Ttd.
Kekasih Pertama

Minggu, 01 Maret 2020

Terjebak Dalam Kepribadian Ganda 👺

Awalnya aku mengira bahwa aku baik-baik saja. Namun, setelah kutelusuri belakangan ini ada yang salah bahkan fatal dengan diriku. Nyatanya hormonku pun kacau fungsinya.

Aku terjebak dalam keramaian. Mulanya aku penyuka kesendirian, namun akibat dari cerewetnya kedua orang tuaku, aku menjadi merasa risih dan merasa diriku tak berada ditempatnya.

Sekitar tahun 2012 silam, aku mulai agak menyadari bahwasanya ada yang tidak normal denganku, terutama dengan pola pikirku. Aku merasa bahwa segala suatu hal terkait emosiku tidak bisa aku kuasai. Ya, memang benar emosi adalah suatu bentuk energi, ia hanya bisa dipindahkan saja dan memang tak dapat dihilangkan.

Berawal ketertarikanku pada seorang 'teman' lain jenis, aku mulai tidak waras. Setiap hari aku murung dibuatnya. Bukannya aku hendak mengungkit masa laluku akan orang yang tak berperikemanusiaan itu, akan tetapi jika aku tak menuliskannya disini sungguh rasanya aku belum begitu mantap. Ya, karena dia masuk dalam zona luka batinku. Selama kurang lebih 2 tahun lamanya aku menjalin hubungan dengannya, aku merasa bahwa memang ada hal lain yang seolah mengintimidasiku. Bukan, hal ini bukan hal magis atau semacam mistis dan bau-bau kemenyan lainnya, akan tetapi saat ada dia aku justru merasa agak sedikit sadar bahwa ada yang salah dalam otakku, dalam zona warasku.

Sedikit cerita, aku pernah berpacaran dengan orang itu. Ya, memanglah ini aib. Aku hanya sekedar bercerita saja, tak berniat membukanya. Aku tahu bahwa pacaran itu haram dalam syariat islam, namun karena kurangnya ilmuku kala itu, sehingga aku masuk dalam perangkap tercela bernama zona merah jambu itu.

Wajar bukan, seorang belia berumur 19 tahun yang terlalu prematur melangkah ke sekolah tinggi merasakan jatuh cinta? Aku tak minta dihakimi, akan tetapi aku hanya sedang berbicara pada diriku sendiri karena saat ini aku sudah menyadari betapa perbuatanku adalah dosa. Astaghfirullohal 'azimmm semoga allah mengampuniku.

Namun, bukan itu topik bahasan yang aku tekankan pada pembaca disini, akan tetapi aku hanya bertitik tumpu pada jenis kepribadian yang kualami.

Flashback di 2013, saat itu serangkaian test kulalui demi terbukanya jati diriku. Mulai dari EEG (pemeriksaan gelombang otak), CT scan, dan juga terapi penyembuhan dimana memang ada kelainan di dalam sistem syarafku kala itu. Seorang dokter rupawan bernama Dr. Nazwan menanganiku kala itu. Beliau adalah ahli syaraf, mengatakan padaku bahwa ada ketidaksinambungan antara sistem syarafku sehingga neuronku menjadi sedikit terganggu. Seharusnya sambungan antar neuron di otak manusia normal bisa saling berseberangan dengan wajar dalam perpindahannya, akan tetapi tidak di sistem syarafku. Itulah mengapa ia menyarankanku untuk terapi obat selama kurang lebih 2 tahun lamanya.

Shock sekali memang, aku merasa bahwa aku sangat minder terkait kejanggalan ini, akan tetapi mau bagaimana lagi. Ini adalah bentuk ikhtiarku demi kelancaran dan kesembuhanku. Plis aku juga ingin menjadi manusia normal seperti kalian.

Akhir tahun 2013 aku collapse, dan harus masuk rehabilitasi, ternyata sistem kinerja otakku semakin memburuk, bahkan hingga aku tak sadarkan diri. Sakit memang apabila diingat kejadian ini, akan tetapi saat aku menerimanya, semua sakit itu terasa bersahabat denganku.

Sekitar dua pekan berlalu, aku mulai sadar bahwa aku sedang berada di tempat dimana aku dirawat, setelah sepuluh hari berjuang melawan ketidakwarasanku sendiri, akhirnya sekumpulan orang (perawat, psikiater, psikolog) disana menjelaskan beberapa hal padaku bahwa aku terkena sindrom bipolar bawaan.

Kala itu, akibat efek obat penenang yang sungguh sangat mematikanku, aku masih belum paham apa itu bipolar. Akan tetapi, aku terus menerus untuk berusaha pahami penyakit yang ada dalam diriku, terutama otakku.

Singkat cerita, kini aku sudah mulai menerimanya. Bahwa sebenarnya penyebab bipolarku adalah asuhan yang keliru. Semestinya aku mendapatkan nutrisi yang cukup saat masa pembentukan sel otak, akan tetapi karena terbatasnya ilmu kedua orang tuaku mereka memberiku nutrisi makanan sekadarnya saja. Akibatnya sistem syarafku kurang maksimal. Di lain sisi, pola asuh orang tuaku yang sangat sering sekali berkonflik. Disinilah titik terberat dalam sejarah hidupku, menghadapi konflik demi konflik disaat usiaku masih sangat balita, katakanlah kurang lebih 4 tahun usiaku kala itu. Pertengkaran demi pertengkaran harus aku lewati didepan mataku, bahkan kedua orangtuaku pun nyaris berpisah. Entah karena apa, aku tidak mengerti sampai sekarang ini. Akupun sudah tak ingin lagi mengungkitnya, karena aku memilih untuk memaafkan masa lalu mereka serta memakluminya bahwa kurangnya ilmu mereka mengakibatkan anak sepertiku menderita.

Saat ini, aku masih dalam tahap pemulihan. Sedikit demi sedikit bebanku mulai terkurangi, dan yang paling aku takutkan selama ini adalah benar. Aku seorang introvert. Kupikir selama ini aku berkepribadian ekstrovert, akan tetapi entah mengapa saat aku bertemu dengan banyak orang energiku seolah terkikis habis.

Selama hampir 26 tahun belakangan ini aku terus menerus bertopengkan ekstrovert agar menyenangkan ortuku. Salah, ya itu salah besar. Bahwa orang sepertiku memanglah susah bergaul dan semestinya lebih sering mengurung diri di kamar.

Ayahku dulu terus menerus memaksaku untuk bersosialisasi, namun rasanya aku sangat risih untuk bertemu orang di luar sana. Tapi kembali lagi karena aku sayang mereka hingga akhirnya kuturuti segala yang mereka mau hingga pada akhirnya fatal.

Sekarang, aku tengah melepas semuanya. Aku tak peduli saat orang mengataiku kuper atau jarang berteman. Ya, memang inilah karakterku. Aku pendiam dan 'bisu' tak suka banyak bicara hal tak penting, apalagi berkumpul dengan orang banyak, rasanya kepalaku penuh.

Kebumen, 1 Maret 2020
Ttd.
Kekasih Pertama