Setiap kali aku bangun di pagi hari dan memulai setiap detik kehidupanku sebagai ibu dan istri, aku merasa bahwa hidup ini sangatlah tidak mudah bagiku. Aku harus mempersiapkan segala sesuatunya tanpa terkecuali. Beratnya tanggungjawabku sebagai seorang pengatur rumahtangga terletak bukan hanya untuk suami dan anak, akan tetapi untukku sendiri pun terkadang masih sering ku lalaikan. Ya, aku seringkali lupa akan hak diri ini.
Aku manusia biasa yang tak sempurna. Aku juga sama seperti orang lain, memiliki jiwa yang juga butuh asupan kasih sayang. Akan tetapi, dari siapa ? Siapa yang mau memberiku kasih sayang tanpa perlu kuberikan imbalan ?
Setiap pagi, aku berdiri di depan cermin meja riasku, memandanginya dari ujung kepala, wajah, dagu, sampai pada sebuah titik dimana pandanganku terhenti.
Ya, itu adalah hidungku sendiri. Hidung yang berdiri tegak selama ini diwajahku, dengan ukuran yang tak begitu mungil, dengan dua lubang di ujungnya.
Dengan alat inilah aku hidup selama ini, dialah yang terus bersamaku hingga saat ini, menyaring udara demi udara yang masuk pada tubuhku, bahkan ia tak peduli betapa kotornya udara itu.
Aku mulai limbung, ingin kutangisi ia. Selama dua puluh lima tahun aku tak pernah berterimakasih padanya. Alangkah kejamnya diriku. Hanya pada satu bagian tubuhku saja terasa berat kuucapkan terimakasih. Lalu, bagimana dengan orang lain ?
Aku mulai menyadari ada setitik embun mata membasahi pipi. Aku sedih dan merasa bersalah. Bagaimana mungkin ia yang terus menerus menemaniku selama sejauh ini tak pernah aku pedulikan keberadaannya, sementara aku selalu saja menuntutnya agar orang lain menghargaiku. Ini baru satu anggota tubuhku, bagaimanakah dengan anggota tubuhku yang lainnya ? Segera kuusap lembut airmataku, dan aku bergegas keluar kamar.
Aku sadar, tak bisa terus menerus menatap diri di depan cermin, karena ada banyak hal yang harus ku kerjakan untuk hari ini. Ada beberapa tugas khusus yang harus aku jalani. Tugas yang tentunya menguras airmata dan juga emosi. Ya, inilah tugasku sebagai seorang ibu dan juga istri.
Meskipun demikian, namun aku yakin bahwa sesungguhnya tugasku inilah yang kelak akan mengantarkanku pada sebuah penghargaan diriku disisi langit.
Aku terus menerus meyakinkan diriku, meski gejolak batin terus berhinggap dalam benak hati. Aku tahu bahwa disinilah imanku diuji, ketika aku harus tetap bisa mengontrol egoku demi kelancaran dan keharmonisan rumah surga kami.
Aku memang menyadari bahwasanya menciptakan sebuah rumah tanpa konflik itu mustahil sekali. Seringkali ide-ide brilian kami bertabrakan di dalamnya. Satu yang selalu menjadi peganganku dalam menjalani kehidupan ini bahwa Allah swt. sengaja menciptakan kami sekeluarga dengan berbeda-beda supaya bisa saling mewarnai dalam satu rumpun kebun surga yang indah, yaitu rumah.
Setiap kali aku merefleksi diriku antara kini dan kemarin bahkan sampai esok, aku selalu berusaha untuk memperbaikinya. Terutama dalam hal pengelolaan kontrol emosiku, yang mana seringkali aku merasa tidak adil atas perlakuan orang lain pada diriku.
Sebenarnya aku tak butuh pengkuan khusus, hanya saja aku butuh waktu untuk menemukan kebenaran dan kemampuan mengontrol gejolak emosi yang sangat dahsyat akibat kelelahan mengatur segala urusan di dalam rumah.
Aku cemas dan tak berdaya. Aku hilang arah, seolah tak ada yang pedulikanku.
Sebuah pesan singkat tetiba menyapaku di smartphoneku yang sudah nampak usang. Ternyata ia adalah sahabat lamaku. Teman satu angkatan, namun berbeda kelas. Ia mengajakku untuk bertemu, dan pada akhirnya ku mulai perjalanan baruku bersamanya.
Seminggu berlalu, setelah ia Sahabatku rela memberikan kedua telinganya untuk ku curahi emosi yang selama ini belum tertumpah, akhirnya disinilah saat yang aku tunggu. Sahabatku mengajakku untuk bangkit dari keterpurukan.
Aku tengah tersadar bahwa selama 3 tahun belakangan ini, di usia pernikahan yang kata orang rentan pertengkaran, aku sudah jarang untuk mengurus diriku sendiri. Jangankan untuk bertemu kawan lama, sekedar makan saja terkadang aku lupa.
Saat ini, beruntungnya aku sudah bergabung bersama teman-teman yang satu frekuensi. Satu pemikiran, dan satu tujuan denganku. Sehingga aku tak perlu lagi bertopeng.
Bahkan, ketika aku lelah dengan topeng yang terus aku pakai di luar sana, 'keluargaku' adalah tempatku kembali. Merekalah yang terus menuntunku dan memberiku motivasi agar terus bangkit dari keterpurukan.
Saat ini, aku seperti seekor lebah yang bertemu kembali dengan koloninya. Sehingga aku mampu bersama membangun sebuah kerajaan megah seperti yang aku impikan.
Memang segalanya tidak mudah dilakukan, akan tetapi ketika kita memiliki teman yang paham akan keadaan kita saat ini, sungguh sangatlah membantu.
Mereka turut serta membangun bisnisku, membangunkan sebuah singgasana yang aku inginkan. Memberiku arahan agar kelak aku bisa berdiri di atas kakiku sendiri, tanpa meninggalkan jati diriku sebagai seorang wanita, ibu, dan juga istri.
---------------------
Semangat mba :D
BalasHapusSemangatttt
BalasHapusTerimakasih sudah berbagi 'rasa' di tulisan ini mbak.. semangaattt! Kembali mengingatkan diri: diri kita juga berhak atas waktu dan bahagia 💙
BalasHapusSemangat mbaa
BalasHapusSemoga ikhlas menjalani segalanya 🌞
Semangaaat mba
BalasHapusSemangat mba... semoga Allah bukakan pintu hati kita menerima petunjukNya untuk kemana kita melangkahkan kaki, menapakkan hati 😊😇
BalasHapuspeluk jauh.... :)
BalasHapusSemangat mba..🤗
BalasHapusMasyaAllah keren, dari mentadaburi hidung menjadi bacaan yang keren.
BalasHapusMasyaAllah pentingnya berteman dengan orang orang yang satu frekuensi ya mba 😊
BalasHapusBarakallah...semangat ya mba 😍
BalasHapussemangat mba, kita berhak bahagia, ikhlas terhadap apa yang sudah terjadi, namun bangkit dan berjuang, mba tidak sendiri, kuat kuat, kita punya Allah :)
BalasHapusMasya Allah, bagus bgt tulisannya mba, pas bagian ada pesan di smartphone jdi ke inget cerita layangan putus 😬
BalasHapusSemangatttt mba....pelukkkkkk
BalasHapusBagus banget tulisan ny 😊
BalasHapusSemangat yaa mba 💪💪😊
MasyaAllah.. sangat mengalir membaca tulisannya... semangaat mba :)
BalasHapusmbaa terima kasih telah menuliskannya ya, terkadang karena terbentur rutinitas, kita seperti "susah bernafas" gitu ya. Semoga dg hadirnya sahabat bisa meringankan
BalasHapusMasyaAllah semangat mbaaa
BalasHapusMemiliki sahabat yang memahami kita benar-benar jadi berkah yang luar biasa ya mba 😊
BalasHapusMasya Allah mba... mari kita cintai diri kita sebagaimana Allah mencintai kita.. peluk jauh untuk mbaknya. tetap semangaat
BalasHapus